Jumat, 24 September 2010

Terkadang Cinta Saja tidak Cukup

Perlu belasan tahun saya memahami bahwa di dalam kehidupan ini cinta saja ga cukup untuk menjadikan hidup ideal.. Tidak mudah memahami mengapa jika orang saling mencintai namun tetep saja seringkali saling menyakiti. Ternyata ego yang berperan disini. Betapa sering saya menjumpai bahwa cinta seringkali luntur dan terlupakan ketika ego yg diprioritaskan. Bener kata orang tua "Emang kamu mau makan cinta?".. hahhaa klasik sekali terdengarya.. Saat merasakan gairah muda, statement klasik itu mudah saja kita patahkan, namun ketika kita menghadapi realita yang sangat kompleks, dan ketika kita sudah menjalani sendiri betapa tidak mudahnya mengatasnamakan cinta untuk semua aspek kehidupan, statement klasik itu sangat masuk akal.

Tahun ini saya dihadapkan pada sebuah keputusan untuk menyudahi hubungan yang tidak mudah. Saya sungguh sangat mencintai lelaki ini namun saya tidak lagi sanggup menghadapinya, tidak lagi mampu bersamanya. Saya bertahan cukup lama atas nama cinta dan pengorbanan, namun pada akhirnya saya sadar bahwa itu tidak cukup. Seringkali saya ingatkan kpd kekasih saya saat itu, tolong jaga dan pelihara cinta ini dengan sikap dan perilaku yang baik dan benar. Namun ia tidak pernah mau mendengar saya, menurutnya cinta kami saat itu sudah cukup. Buatnya tak perlu juga melakukan pengakuan terhadap cinta kami kepada orang lain.. Saya tidak menyalahkannya karena setiap orang memiliki pemahamannya sendiri2. ia bukan orang yag jahat hanya saja seringkali orang baik belum tentu benar.

Selama hidup saya, saya tidak pernah menemukan kehidupan keluarga yang ideal dan harmonis. Saya harus belajar tentang hidup dengan banyak hal yang tidak pernah mudah, mencari jalan sendiri walau seringkali saya menemukan jalan buntu dan harus menabrak tembok2, wujud dari  konstruksi kewajaran. Saya seringkali bertanya mengapa kedua orangtua saya berbeda dari orangtua pada umumnya, padahal keluarga ini ada berawal dari sebuah cinta. Dan setelah saya cukup besar dan menemukan banyak hal dalam hidup, kini saya sadar bahwa tidak semuanya bisa kita beli dengan cinta untuk menuju ideal dan saya mulai merelakannya. Bahwa kita harus berhenti berharap pada hal yang sudah diluar kuasa kita, meski perjuangan kita selama ini tidak mudah. Dan buat saya meski hasil dari perjuangan kita tidak sesuai dengan expectasi selama ini, bukan berarti sia-sia. Karena kita belajar banyak dari proses perjuangan itu. Dan kita bisa membawa pelajaran itu sebagai bekal dalam melangkah menuju harapan yang baru. Sometimes we have to let it go and move on.

Sama hal nya seperti keputusan saya untuk meninggalkan kekasih hati saya kemarin, saya tidak lagi menyayangkan kenangan atau perjuangan hubungan kami atau menyayangkan cinta kami yg harus kandas. karena saya tau, akan ada seseorang yang lebih baik lagi didepan sana menunggu saya. Dan Tuhan sudah mengaturnya. Mungkin kekasih saya kemarin memang orang yg saya inginkan sebelumnya, namun Tuhan lebih tau kebutuhan saya dan mungkin lelaki itu bukan seseorang yang saya butuhkan, sekalipun ia adalah orang yang saya inginkan.

Dan kini saya juga tidak ngoyo mengapa masalah hidup saya seakan tak pernah selesai, kenapa Tuhan tidak memberi pertolongan dan menyelesaikan permasalahan2 ini secepatnya, belasan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi saya percaya sekarang bahwa Ia datang tepat pada waktunya, tidak terlambat dan tidak terlalu cepat karena semua akan indah tepat pada waktunya.

Regards
Elza Astari Rd

Minggu, 19 September 2010

Mengapa Kami Harus dikarbit?


Pulang gereja malam ini saya teringat oleh seorang anak ABG (anak baru gede) perempuan penjaga warung burjo dekat kost yang sebelumnya tidak pernah saya datangi.. Pada kunjungan pertama saya, entah mengapa saya tertarik dengan anak perempuan ini. Saya melihat dia memiliki banyak potensi namun sayang dia terlihat sebagai seorang yang harus matang sebelum umurnya.. Dari sikapnya, dari cara bicaranya dan dari pembawaannya saya melihat seorang dewasa yg terperangkap dalam tubuh anak ABG. Namun saya lihat bukan 'dewasa' yang seharusnya..
Saya kembali ke warung burjo tersebut karena saya ingin bertemu anak ini untuk saya ajak ngobrol. Sejak awal saya melihat sesuatu dari anak ini. Jeti namanya, asli dari Wonosari, Gunung kidul. Anak kedua dari 4 bersaudara. Ia bercerita seharusnya ia sekarang kelas 1 SMA namun ia putus sekolah karena orangtuanya tidak memiliki biaya. Sudah 2 hari ia tidak tidur karena menggantikan shift jaga temannya. Saya lihat matanya berkantung. Saya banyak tanya namun tidak jarang saya speechless mendengar apa yang ia katakan. Karena saya bingung harus menghibur dengan cara apa. Saya tidak suka menjadi sok tau dengan menceramahinya, meski secara logika saya bisa jawab, tapi saya tidak berada dalam kondisinya dan meski saya berusaha untuk berempati sebaik mungkin, saya tetap tidak bisa merasakan nyata apa yang Jeti rasakan. Orangtuanya tak lagi bekerja dan uang hasil kerja Jeti seringkali diambil ibunya. Kakaknya lelaki berumur 28 tahun yang masih luntang lantung tak jelas,, 
Mungkin saya dan Jeti memiliki kisah hidup yang berbeda namun ada 1 kesamaan dari diri kami. Saya dan Jeti dikarbit sejak kecil oleh keadaan, oleh kenyataan hidup yang tak pernah mudah. Mungkin ketertarikan saya yg begitu besar kepada Jeti karena saya melihat aura kesamaan yang kami miliki, hal yag tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, yang tidak bisa diraba namun hanya mampu dirasa, karena hal tersebut sangatlah kasat mata. Saat saya sedang menikmati nasi telur sarden buatan Jeti, saya mendengar percakapan Jeti dengan temannya di seberang telepon. Saya tertawa sendiri mendengar Jeti berusaha memberikan saran cinta untuk sang teman. Setelah itu Jeti bercerita kepada saya soal masalah cinta temannya dan secara tersirat saya mengetahui Jeti memiliki lebih dari satu pacar. Saya hanya tersenyum geli.
Pelanggan burjo yang datang kebanyakan lelaki dan hampir semuanya dikenal dekat oleh jeti. Sungguh ganjil saat saya melihat bagaimana Jeti bergurau dengan 'teman-temannya ini'. Namun sejauh yang saya lihat tidak ada tanda-tanda pelecehan dari para pelanggan. Mungkin seperti saya, para pelanggan di sini datang karena ingin bertemu Jeti. Ia seorang yang humble, ceria dan menyenangkan. Saya suka bagaimana Jeti memberikan perhatian lebih pada para pelanggan. Bahkan pada kedatangan saya yang pertama, saya sempat mendengar sedikit seorang pelanggan pria seumuran saya yang sedang curhat kepada Jeti.
Entah mengapa sosok Jeti sangat berkesan di mata saya, namun yang jelas bukan karena masakannya (karena jujur saja, tidak ada yang spesial dari masakannya). Kehangatan matanya membuat saya betah ingin duduk lama mendengar cerita-ceritanya..
Saya tahu, di luar sana banyak sekali Jeti lain yang memiliki kisah yang sama atau berbeda namun memiliki kesamaan pada satu hal, yakni betapa kerasnya tempaan hidup di umur yang masih dini. Saya paham bagaimana rasanya, meski saya tau masih banyak orang yang memiliki beratnya beban hidup melebihi saya ataupun Jeti. Namun demikianlah adanya, kehidupan yang dikarbit tidak pernah mudah. Dan sampai saat inipun saya masih bertanya-tanya mengapa saya yang harus merasakannya? mengapa bukan si A atau si B? mengapa si C hidupnya begitu mudah? Tidak jarang saya iri. Namun satu yang saya tahu, inilah hidup. There is a reason mengapa saya atau Jeti yang merasakannya. Banyak yang bilang mungkin saya harus melalui banyak sekali penderitaan melebihi orang lain seusia saya karena Tuhan tahu saya mampu menghadapinya, dan bahwa semua itu untuk alasan yang akan saya ketahui esok nanti. Saya memilih untuk mempercayainya.
Pengkarbitan hidup ini selalu saya coba syukuri, meski tidak mudah. Namun kalau sampai saat ini saya masih mampu bertahan, artinya memang ada alasannya bukan?

Elza Astari Rd