Kamis, 26 Februari 2009

MEMBERI BELUM TENTU MENDIDIK

Para anak kecil berlarian menghampiri kendaraan-kendaraan yang berhenti karena tercegat oleh lampu merah. Setelah itu, mereka menghampiri kendaraan satu persatu sambil mengulurkan tangannya tanda meminta uang. Terkadang ada beberapa anak yang jika tidak diberi uang, lalu memukul atau mencubit dan memaki dengan kata-kata kasar terhadap orang yang ia pinta-pintai. Hingga terkadang orang-orang terpaksa memberi uang agar tidak dikasari oleh mereka, padahal membudayakan memberi pengemis sangat tidak mendidik. Setelah anak-anak itu mendapatkan hasil, mereka kemudian berlari kembali kearah trotoar dan memberikan “panen”nya ke Ibu mereka masing-masing yang menunggu mereka sambil mengobrol satu sama lain dan memakai perhiasaan emas sambil membawa HandPhone yang tergolong canggih.
Meskipun Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya nan tenteram serta kota dengan pendidikan yang terbilang lebih maju dibanding dengan kota lain, tetap saja terdapat permasalahan kemiskinan yang terwujud melalui banyaknya kumpulan pengemis diberbagai daerahnya. Padahal kota Yogya kini telah beranjak menjadi kota metropolitan yang semakin berkembang dan maju. Terbukti dengan banyaknya tempat perbelanjaan mewah baru seperti Plaza Ambarukmo, Saphir Square dan beberapa kawasan perbelanjaan. Belum lagi menjamurnya arena gaul dan tempat nongkrong anak muda dengan status ekonomi sosial menengah keatas.
Namun sejalan dengan perkembangannya, fenomena diatas sering kita jumpai di kota Yogya ini. Namun yang paling kentara dan belum ada perubahan positif yakni di pertigaan lampu merah Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga. Sangat menyayat hati ketika anak-anak kecil dari siang hingga hampir tengah malam mengemis namun ibu-ibu mereka hanya duduk-duduk dan tinggal menadahkan tangan menerima hasil mengemis anak-anaknya.
Kegiatan meminta-minta dipinggir jalan atau ditempat umum sudah tidak lagi berdampak afeksi dewasa ini. Fenomena yang sudah membudaya secara turun temurun bagi pihak yang melakoninya, telah menimbulkan banyak keprihatinan oleh berbagai kalangan. Sayangnya, bagi pihak pemberi uang malah juga membudayakan diri dengan memberi uang dengan berbagai alasan, tanpa memikirkan aspek psikologis dan pendidikan. Pihak pemerintah pun tidak memprioritaskan permasalahan ini, hingga kemalasan pengemis semakin diluar batas, padahal banyak diantara mereka yang tergolong mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Seperti yang diungkapkan Briptu Dani, seorang polisi yang bertugas menjaga pos polisi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, “ saya juga bingung, katanya pengemis tapi kok itu pengemis pada bawa hp, pada telepon-teleponan dan pake perhiasan, karena saya lihat sendiri, saya jadi gak habis pikir “. Hampir semua orang yang melewati pertigaan UIN Sunan Kalijaga melihat langsung ibu-ibu dari pengemis anak disana duduk ditotoar dengan menggunakan perhiasaan dan membawa Handphone. Bahkan terkadang mereka mengeluarkan lembaran-lembaran uang lima puluh atau seratus ribuaan.
Adapun faktor utama penyebab timbulnya kalangan pengemis di Indonesia adalah karena kemiskinan dan kurangnya pendidikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kealpaan pemerintah dalam mengatasi masalah ini juga menjadi faktor terus menambahnya pengemis. Jika pemerintah lebih memprioritaskan aspek pendidikan dan kemiskinan di negara kita, dan bukan malah berkutik dalam kancah politik untuk memperebutkan kekuasaan, pasti keberadaan pengemis yang sebenarnya sangat krusial paling tidak berkurang. Namun peranan pemerintah dalam masalah ini sangat minim karena tidak pemerintah prioritaskan, padahal kalau dilihat secara luas, permasalahan keberadaan pengemis ini menyangkut kesejahteraan dan kelangsungan hidup seluruh Warga Indonesia.
Sementara itu, paling tidak ada beberapa kalangan kritis yang merasa fenomena yang terjadi dalam masalah pengemis ini menunjukan kelemahan manajemen pemerintah pusat maupun daerah dalam megurus dapur rumah tangga mereka. Banyaknya khilaf dan kelalaian dalam mengatasi masalah pengemis ini menjadikan masyarakat semakin tidak percaya akan rezim pemerintahan di Indonesia.
Kegiatan mengemis di pertigaan UIN Sunan Kalijaga dan daerah-daerah lainnya yang ada di Yogya ataupun Indonesia telah menimbulkan banyak keprihatinan dari beberapa pihak dan kalangan. Hal ini disebabkan karena kegiatan tersebut bukan lagi sebagai sarana untuk membantu fakir miskin, namun sudah dijadikan sebagai profesi pihak-pihak yang melakoninya. Bahkan hampir disemua daerah di Indonesia terdapat mafia yang mengkoordinir untuk kegiatan ini. Beberapa hal yang dilakukan oleh mafia tersebut yakni seperti penyediaan anak kecil untuk melakukan pekerjaan meminta-minta, penyewaan anak kecil atau bayi sebagai sarana yang akan menimbulkan rasa kasihan atau aspek afeksi bagi orang-orang yang melihatnya lalu akan memberi santunan bagi pengemis. Selain itu banyak kegiatan yang dilakukan anak jalanan, gelandangan dan pengemis seperti mengelap kendaraan yang berhenti dilampu merah, menyapu kendaraan umum lalu meminta kompensasi dengan paksa, membuat masyarakat menjadi tidaknyaman. Belum lagi dengan adanya permintaan santunan dari lembaga-lembaga atau instansi agama dan sejenisnya yang tidak jelas keberadaanya serta visi dan misinya.
Kejadian-kejadian seperti itulah yang terkadang luput dari koordinasi pemerintah. Tidak terjaminnya pendidikan di Indonesia bagi masyarakat miskin memunculkan krisis moral bagi mereka. Lebih mengenaskan lagi yang terjadi pada anak-anak yang harus terpaksa mengemis. Anak-anak yang seharusnya masih dalam masa bermain dipaksa mengemis untuk menafkahi hidupnya atau orangtuanya.
“ Panas mbak kalo jam 1 siang “, ungkap Teguh, seorang pengemis anak di pertigaan UIN Sunan Kalijaga sambil menyerahkan uang yang baru ia dapat ke Bu Yanto, ibu nya. Bukan hanya teguh yang merasakan kepanasan, banyak teman-temannya juga yang merasakan panas bahkan kedinginan ketika mereka harus tetap mengemis di saat hujan turun. Permasalahan pengemis memang sudah seharusnya dijadikan prioritas oleh pemerintah dan harus segera di tanggulangi. Seperti yang diungkapkan Anneke Christine Clarenthia S, mahasiswi prodi Komunikasi, bahwa seharusnya pemerintah tidak hanya memberikan penyuluhan terhadap pengemis dan gelandangan, namun juga memberikan alternatif pekerjaan kepada mereka agar mereka tidak kembali mengemis.
Seyogiyanya pemerintah setelah memberikan penyuluhan, juga memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan. Contohnya saja ketermpilan membuat handycraft khas Indonesia yang kemudian menyediakan lapangan pekerjaan dan menjual serta mengekspor hasil pekerjaan mereka. Dengan demikian tidak hanya memberikan pekerjaan pada para gelandangan dan pengemis, namun pemerintah juga diuntungkan dari devisa yang masuk. Mungkin akan terasa sulit jika langsung megkoordinir di seluruh Indonesia, namun jika dimulai dari tiap-tiap daerah, mungkin akan sedikit lebih ringan (terkait dengan siatem desentralisasi). Selain itu juga, pemerintah akan konsisten menjalani pasal 34 UUD’45 yang mengatakan bahwa gelandangan dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Untuk kita semua juga diharapkan untuk lebih bijak lagi dalam memberi santunan bagi pengemis, karena jika kita terus-terusan memberi mereka santunan tanpa melihat bahwa sebenarnya mereka masih mampu bekerja, artinya kita hanya memanjakan mereka dan membuat mereka semakin malas bekerja. Kini, sudah selayaknya kita mendidik para pengemis khususnya yang berada di Yogya agar dapat mengandalkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing.

MTV (MUSIC TELEVISION)

”Sebuah Sarana Pergeseran Budaya dan Kehidupan Sosial”

Menyadari peran media massa yang begitu kuatnya pada sistem yang terjadi di masyarakat membuat saya mengkritisi betapa kuatnya kontrol media yang telah terkonstruksi sedemikian rupanya. Salah satu fenomena yang terjadi adalah kuatnya efek sebuah program televisi dengan segmentasi anak remaja, yaitu MTV (Music Televition).
Sebuah program yang dibawa oleh Negara super power Amerika Serikat ini menjadi sebuah ‘kiblat’ yang sangat berpengaruh bagi sebagian anak muda dalam mengikuti arus kehidupan yang dikenal dengan tajuk “gaul”. Bentuk yang dihadirkan adalah segala trend terbaru, mulai dari musik, fashion, makanan, hingga lifestyle. Mengingat program yang didalangi oleh Amerika Serikat, tentu saja sajian dan kemasan di beberapa negara yang mendapatkan hak siar MTV termasuk Indonesia, juga memiliki kemasan yang tidak jauh berbeda. Hingga industri kapitalis seperti makanan, fashion hingga label perusahaan musik pun mendapatkan untung besar-besaran karena pesan-pesan yang ditampilkan oleh MTV.
Anak muda, atau anak remaja yang sedang puberlah yang menjadi sasaran utama oleh MTV. Ini disebabkan karena pada usia remajalah dimulainya awal pencarian identitas seksual dan pemfokusan pada pencarian jati diri, hingga emosi mereka masihlah sangat labil dan dapat dipengaruhi (ditanamkan sebuah konstruksi budaya) dengan sangat mudah . Mereka mulai lepas dari tradisi dalam rumah, mulai meninggalkan disiplin sosial dan berpotensi mengembangkan disiplin pribadi (mypalette.multiply.com).
Ketika melihat lebih jauh lagi, adanya MTV tidaklah hanya sekedar adanya saja. Tanpa sadar, acara-acara yang ditampilkan oleh MTV berpengaruh sangat kuat. Ketika MTV telah mem-’bandrol’ dirinya sebagai acara untuk anak ”gaul”, maka tertanam pula bahwa hanya mereka yang menonton MTV sajalah yang dapat dikatakan ”gaul”. Banyak propaganda yang ditanamkan melalui acara-acara tersebut. Dilihat dari perspektif Kolonialisme elektronik yakni sebuah penjajahan dalam bentuk pikiran dengan media massa sebagai sebuah sarana, MTV jelas saja telah menghasilkan hasil yang mengagumkan karena hampir semua target audiens MTV berperilaku seperti apa yang disampaikan serta dikonstrusikan oleh MTV.
Dalam Kolonialisme Elektronik dijelaskan bahwa penjajahan elektronik ini mencari pengaruh dan kontrol pikiran. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi sikap, kehendak, kepercayaan, gaya hidup dan perilaku konsumen, (Global Communication, McPhail 2006). Seperti yang dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari bahwa mereka yang mengkonsumsi MTV memiliki style dan lifestyle yang hampir sama bahkan mengikuti semua kehidupan dan apapun yang mereka lihat di acara MTV. Seperti berbicara gaul, campuran Indonesia-British, mengonsumsi junkfood atau budaya ’kongkow’ untuk mengisi waktu luang atau memang sengaja meluangkan waktu untuk bisa ’kongkow’ agar bisa disebut ’gaul’.
Tidak hanya sekedar itu saja, fenomena yang disebabkan oleh hadirnya MTV berkaitan erat dengan perspektif kultivasi. Analisa kultivasi mempelajari apa dan bagaimana televisi membantu menghasilkan konsepsi penonton tentang kenyataan sosial, (Bryant, J & D Zillmann. Media Effects: Advances in Theory and Research. 2002 : 45). Menurut perspektif kultivasi, televisi merupakan media utama bagi audiens untuk belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Ketika menonton acara MTV di televisi maka mereka melihat bahwa apa yang ditayangkan oleh MTV merupakan sebuah realitas yang harus dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam arti lain, persepsi yang muncul dalam benak kita sangat ditentukan oleh televisi. Melalui kontak dari televisi maka mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, dan adat istiadatnya. Seperti itulah yang terjadi dengan munculnya MTV di berbagai belahan negara khususnya Indonesia. Melalui penanaman konstruksi pesan dari MTV, budaya timur yang ada di Indonesia tergeser menjadi budaya kebarat-baratan bagi anak muda pengonsumsi MTV.
Contohnya saja ketika MTV mengkampanyekan hari HIV Aids secara besar-besaran dan disponsori oleh salah satu produk kondom. Secara tidak langsung MTV mendukung adanya freesex yang notabene merupakan budaya barat. Akibatnya anak muda Indonesia pun melupakan tradisi mereka sebagai bangsa timur yang tidak menghalalkan adanya budaya freesex tersebut.