Jumat, 24 September 2010

Terkadang Cinta Saja tidak Cukup

Perlu belasan tahun saya memahami bahwa di dalam kehidupan ini cinta saja ga cukup untuk menjadikan hidup ideal.. Tidak mudah memahami mengapa jika orang saling mencintai namun tetep saja seringkali saling menyakiti. Ternyata ego yang berperan disini. Betapa sering saya menjumpai bahwa cinta seringkali luntur dan terlupakan ketika ego yg diprioritaskan. Bener kata orang tua "Emang kamu mau makan cinta?".. hahhaa klasik sekali terdengarya.. Saat merasakan gairah muda, statement klasik itu mudah saja kita patahkan, namun ketika kita menghadapi realita yang sangat kompleks, dan ketika kita sudah menjalani sendiri betapa tidak mudahnya mengatasnamakan cinta untuk semua aspek kehidupan, statement klasik itu sangat masuk akal.

Tahun ini saya dihadapkan pada sebuah keputusan untuk menyudahi hubungan yang tidak mudah. Saya sungguh sangat mencintai lelaki ini namun saya tidak lagi sanggup menghadapinya, tidak lagi mampu bersamanya. Saya bertahan cukup lama atas nama cinta dan pengorbanan, namun pada akhirnya saya sadar bahwa itu tidak cukup. Seringkali saya ingatkan kpd kekasih saya saat itu, tolong jaga dan pelihara cinta ini dengan sikap dan perilaku yang baik dan benar. Namun ia tidak pernah mau mendengar saya, menurutnya cinta kami saat itu sudah cukup. Buatnya tak perlu juga melakukan pengakuan terhadap cinta kami kepada orang lain.. Saya tidak menyalahkannya karena setiap orang memiliki pemahamannya sendiri2. ia bukan orang yag jahat hanya saja seringkali orang baik belum tentu benar.

Selama hidup saya, saya tidak pernah menemukan kehidupan keluarga yang ideal dan harmonis. Saya harus belajar tentang hidup dengan banyak hal yang tidak pernah mudah, mencari jalan sendiri walau seringkali saya menemukan jalan buntu dan harus menabrak tembok2, wujud dari  konstruksi kewajaran. Saya seringkali bertanya mengapa kedua orangtua saya berbeda dari orangtua pada umumnya, padahal keluarga ini ada berawal dari sebuah cinta. Dan setelah saya cukup besar dan menemukan banyak hal dalam hidup, kini saya sadar bahwa tidak semuanya bisa kita beli dengan cinta untuk menuju ideal dan saya mulai merelakannya. Bahwa kita harus berhenti berharap pada hal yang sudah diluar kuasa kita, meski perjuangan kita selama ini tidak mudah. Dan buat saya meski hasil dari perjuangan kita tidak sesuai dengan expectasi selama ini, bukan berarti sia-sia. Karena kita belajar banyak dari proses perjuangan itu. Dan kita bisa membawa pelajaran itu sebagai bekal dalam melangkah menuju harapan yang baru. Sometimes we have to let it go and move on.

Sama hal nya seperti keputusan saya untuk meninggalkan kekasih hati saya kemarin, saya tidak lagi menyayangkan kenangan atau perjuangan hubungan kami atau menyayangkan cinta kami yg harus kandas. karena saya tau, akan ada seseorang yang lebih baik lagi didepan sana menunggu saya. Dan Tuhan sudah mengaturnya. Mungkin kekasih saya kemarin memang orang yg saya inginkan sebelumnya, namun Tuhan lebih tau kebutuhan saya dan mungkin lelaki itu bukan seseorang yang saya butuhkan, sekalipun ia adalah orang yang saya inginkan.

Dan kini saya juga tidak ngoyo mengapa masalah hidup saya seakan tak pernah selesai, kenapa Tuhan tidak memberi pertolongan dan menyelesaikan permasalahan2 ini secepatnya, belasan tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi saya percaya sekarang bahwa Ia datang tepat pada waktunya, tidak terlambat dan tidak terlalu cepat karena semua akan indah tepat pada waktunya.

Regards
Elza Astari Rd

Minggu, 19 September 2010

Mengapa Kami Harus dikarbit?


Pulang gereja malam ini saya teringat oleh seorang anak ABG (anak baru gede) perempuan penjaga warung burjo dekat kost yang sebelumnya tidak pernah saya datangi.. Pada kunjungan pertama saya, entah mengapa saya tertarik dengan anak perempuan ini. Saya melihat dia memiliki banyak potensi namun sayang dia terlihat sebagai seorang yang harus matang sebelum umurnya.. Dari sikapnya, dari cara bicaranya dan dari pembawaannya saya melihat seorang dewasa yg terperangkap dalam tubuh anak ABG. Namun saya lihat bukan 'dewasa' yang seharusnya..
Saya kembali ke warung burjo tersebut karena saya ingin bertemu anak ini untuk saya ajak ngobrol. Sejak awal saya melihat sesuatu dari anak ini. Jeti namanya, asli dari Wonosari, Gunung kidul. Anak kedua dari 4 bersaudara. Ia bercerita seharusnya ia sekarang kelas 1 SMA namun ia putus sekolah karena orangtuanya tidak memiliki biaya. Sudah 2 hari ia tidak tidur karena menggantikan shift jaga temannya. Saya lihat matanya berkantung. Saya banyak tanya namun tidak jarang saya speechless mendengar apa yang ia katakan. Karena saya bingung harus menghibur dengan cara apa. Saya tidak suka menjadi sok tau dengan menceramahinya, meski secara logika saya bisa jawab, tapi saya tidak berada dalam kondisinya dan meski saya berusaha untuk berempati sebaik mungkin, saya tetap tidak bisa merasakan nyata apa yang Jeti rasakan. Orangtuanya tak lagi bekerja dan uang hasil kerja Jeti seringkali diambil ibunya. Kakaknya lelaki berumur 28 tahun yang masih luntang lantung tak jelas,, 
Mungkin saya dan Jeti memiliki kisah hidup yang berbeda namun ada 1 kesamaan dari diri kami. Saya dan Jeti dikarbit sejak kecil oleh keadaan, oleh kenyataan hidup yang tak pernah mudah. Mungkin ketertarikan saya yg begitu besar kepada Jeti karena saya melihat aura kesamaan yang kami miliki, hal yag tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, yang tidak bisa diraba namun hanya mampu dirasa, karena hal tersebut sangatlah kasat mata. Saat saya sedang menikmati nasi telur sarden buatan Jeti, saya mendengar percakapan Jeti dengan temannya di seberang telepon. Saya tertawa sendiri mendengar Jeti berusaha memberikan saran cinta untuk sang teman. Setelah itu Jeti bercerita kepada saya soal masalah cinta temannya dan secara tersirat saya mengetahui Jeti memiliki lebih dari satu pacar. Saya hanya tersenyum geli.
Pelanggan burjo yang datang kebanyakan lelaki dan hampir semuanya dikenal dekat oleh jeti. Sungguh ganjil saat saya melihat bagaimana Jeti bergurau dengan 'teman-temannya ini'. Namun sejauh yang saya lihat tidak ada tanda-tanda pelecehan dari para pelanggan. Mungkin seperti saya, para pelanggan di sini datang karena ingin bertemu Jeti. Ia seorang yang humble, ceria dan menyenangkan. Saya suka bagaimana Jeti memberikan perhatian lebih pada para pelanggan. Bahkan pada kedatangan saya yang pertama, saya sempat mendengar sedikit seorang pelanggan pria seumuran saya yang sedang curhat kepada Jeti.
Entah mengapa sosok Jeti sangat berkesan di mata saya, namun yang jelas bukan karena masakannya (karena jujur saja, tidak ada yang spesial dari masakannya). Kehangatan matanya membuat saya betah ingin duduk lama mendengar cerita-ceritanya..
Saya tahu, di luar sana banyak sekali Jeti lain yang memiliki kisah yang sama atau berbeda namun memiliki kesamaan pada satu hal, yakni betapa kerasnya tempaan hidup di umur yang masih dini. Saya paham bagaimana rasanya, meski saya tau masih banyak orang yang memiliki beratnya beban hidup melebihi saya ataupun Jeti. Namun demikianlah adanya, kehidupan yang dikarbit tidak pernah mudah. Dan sampai saat inipun saya masih bertanya-tanya mengapa saya yang harus merasakannya? mengapa bukan si A atau si B? mengapa si C hidupnya begitu mudah? Tidak jarang saya iri. Namun satu yang saya tahu, inilah hidup. There is a reason mengapa saya atau Jeti yang merasakannya. Banyak yang bilang mungkin saya harus melalui banyak sekali penderitaan melebihi orang lain seusia saya karena Tuhan tahu saya mampu menghadapinya, dan bahwa semua itu untuk alasan yang akan saya ketahui esok nanti. Saya memilih untuk mempercayainya.
Pengkarbitan hidup ini selalu saya coba syukuri, meski tidak mudah. Namun kalau sampai saat ini saya masih mampu bertahan, artinya memang ada alasannya bukan?

Elza Astari Rd


Kamis, 13 Mei 2010

Jalan Memutar Belum Tentu Salah

Ketika kita mendapat sebuah persimpangan jalan, menghadapi pilihan di depan mata yg banyak sekali cabang dengan segala resiko yg dapat di perkirakan, terkadang kita memilih hal yg efisien, praktis dan 'dianggap' benar jika dilihat dari permukaan. Namun coba sekali kita renungkan langkah-langkah yg akan kita ambil hingga detail. Saya ingin menceritakan sedikit pengalaman mengenai hal ini. Setahun belakangan saya menghadapi stuck dalam akademi. Dalam program kuliah kerja lapangan saya yg pertama kali saya merasa kurang total dan optimal dalam menjalaninya hingga saya kesulitan dalam membuat laporan. Ini kesalahan saya. Saya merasa gagal selama setahun dalam menghadapi diri saya sendiri. Kesalahan saya berdampak pada akademis yang akhirnya menjadi terbengkelai. Padahal kalau dirunut kembali proses akademis saya hanya tinggal laporan magang dan skripsi. Namun inilah hidup, selalu ada jatuh bangun even hal itu karena kebodohan kita sendiri. Saya kemudian memutuskan melepas beasiswa saya yg saya dapat dari awal saya kuliah karena saya merasa sudah tidak layak lagi mendapatkannya. Tapi bagi saya, saya tidak pernah menyesal akan apa yg terjadi dalam hidup saya. Itulah proses dan selalu ada pelajaran yg bisa saya ambil. Setelah setahun saya berkubang pada kemalasan, ketidakdinamisan dan ketidakidealan bagi hidup saya, akhirnya saya bangkit dan memperbaiki kegagalan2 dalam hidup saya satu persatu, dan sampai saat ini saya masih berusaha.
Banyak pertimbangan yg saya pikirkan dengan segala kemungkinan2nya yg dpt saya perkirakan. Namun saya mencoba satu persatu membenahi masalah2 saya. Saya membenahi masalah percintaan yg saat itu sangat menyita waktu saya dengan label sebuah 'asa' atau 'rasa'. Setelah kemarin saya dapat menghandle urusan cinta, saya mulai menyusun puzzle semangat hidup akademis saya. Saya tipikal orang yg berusaha sebaik mungkin memperbaiki kegagalan dan enggan setengah2 dalam mengambil keputusan, saya akhirnya memilih untuk starting over dalam memperbaiki urusan kuliah kerja lapangan saya. Saya akhirnya memutuskan untuk memulai lagi dari awal dan kembali lagi mengulang magang saya. Ini sangatlah berat pada awalnya, banyak yg menentang karena dibilang buang2 waktu, biaya (mengingat masalah pembayaran SKS dan administrasi macam2 ketika saya memilih untuk magang di luar kota yogya), tenaga dan banyak hal lainnya. Namun pada saat itu, saya berpikir daripada saya memaksakan membuat laporan dengan banyak keterbatasan input, saya takut akan terjadi banyak pembuatan hasil yang terkesan dibuat2 atau dilebih2kan. Saya juga tidak menginginkan karya dengan hasil yg sangat kurang. Wakaprodi saya sangat menentang, namun Puji Tuhan dosen pembimbing saya sangat mendukung saya. Akhirnya saya harus membuat proposal lagi dengan mengikuti prosedur dari awal dengan proses kampus saya yang cukup rumit. Permasalahan saya harus di rapatkan oleh Prodi untuk menentukan boleh atau tidaknya saya mengulang magang. Saya juga harus hunting media massa di jakarta untuk tempat saya magang, panas dan hujan berhari-hari saya dijalan bersama kakak saya tersayang yang selalu mendukung tiap keputusan saya. Puji Tuhan lagi dosen pembimbing saya membantu saya sekali hingga saya boleh mengulang magang dan kemudian perjuangan saya tidak sia-sia karena saya mendapat kesempatan magang di salah satu media massa terkemuka di Indonesia,
yakni Metro TV.
Saya mendapat banyak pengalaman luar biasa di Metro TV pada divisi Program director News dan ini adalah salah satu kesempatan yg belum tentu didapatkan setiap orang. Bahkan pada satu kesempatan saya di anjurkan untuk memasukkan lamaran di Metro TV oleh Chief program Director saya, namun saya terbentur karena belum lulus kuliah. Semoga kesempatan ini masih akan ada ketika saya lulus nanti.
Akhirnya banyak teman dan banyak pihak yang pada awal mengatakan saya bodoh mengambil keputusan ini kemudian memuji saya. Seperti inilah diri saya, karena buat saya meski saya harus mengambil langkah atau keputusan yang tidak efisien atau bahkan terkesan sangat bodoh namun jika perkiraan saya akan menghasilkan banyak manfaat, pelajaran, pengalman dan bahkan kesempatan baik untuk masa depan saya, saya akan mengambil langkah itu meski banyak yang menentang. Daripada saya harus memaksakan diri berlari dalam posisi keterbatasan, saya memilih memulai dari awal bahkan dari nol dan mulai menyusun lagi sedikit demi sedikit untuk hasil yg lebih maksimal. Saya sadari bahwa terkadang we have to let something to goes away and starting from begining to gets the better results. Maksud saya adalah kita tidak harus selalu memaksakan keadaan untuk berjalan seperti pada mestinya jika usaha yg kita lakukan tidak akan mndapat hasil yg baik, kita bisa memulai sesuatu yg baru dengan tujuan yg sama dan usaha yg berbeda agar hasilnya akan jauh lebih baik dari yg kita harapkan.
Point saya disini adalah bahwa tidak ada salahnya kita sedikit memutar jalan untuk sampai pada tujuan kita.. karena ada banyak kemungkinan di jalan alternatif ini kita akan menemukan banyak hal positif dan menguntungkan untuk bekal yg dapat kita pergunakan bahkan dapat kita nikmati hasilnya di tempat tujuan kita. Mengikuti jalan yg sudah terkonstruksi jg tidak berarti salah, namun selalu ada harga yg harus dibayar untuk tiap keputusan dan langkah yg kita ambil. Kita hanya butuh waktu untuk duduk sebentar dan memikirkan jauh lebih dalam lagi kemungkinan2 yg akan terjadi dari tiap2 pilihan yg ada di depan kita.
Bahwa hidup dan realita itu terkadang memang menyakitkan, namun itulah yg menjadi motivasi kita untuk terus maju dan menjadi lebih baik. Selalu berprinsip melakukan dan berkarya yang terbaik daripada berpikir menjadi yang terbaik akan membuat hidup kita menjadi lebih bermakna dan berguna buat banyak orang.


Regards
Elza ARd

Kamis, 26 Februari 2009

MEMBERI BELUM TENTU MENDIDIK

Para anak kecil berlarian menghampiri kendaraan-kendaraan yang berhenti karena tercegat oleh lampu merah. Setelah itu, mereka menghampiri kendaraan satu persatu sambil mengulurkan tangannya tanda meminta uang. Terkadang ada beberapa anak yang jika tidak diberi uang, lalu memukul atau mencubit dan memaki dengan kata-kata kasar terhadap orang yang ia pinta-pintai. Hingga terkadang orang-orang terpaksa memberi uang agar tidak dikasari oleh mereka, padahal membudayakan memberi pengemis sangat tidak mendidik. Setelah anak-anak itu mendapatkan hasil, mereka kemudian berlari kembali kearah trotoar dan memberikan “panen”nya ke Ibu mereka masing-masing yang menunggu mereka sambil mengobrol satu sama lain dan memakai perhiasaan emas sambil membawa HandPhone yang tergolong canggih.
Meskipun Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya nan tenteram serta kota dengan pendidikan yang terbilang lebih maju dibanding dengan kota lain, tetap saja terdapat permasalahan kemiskinan yang terwujud melalui banyaknya kumpulan pengemis diberbagai daerahnya. Padahal kota Yogya kini telah beranjak menjadi kota metropolitan yang semakin berkembang dan maju. Terbukti dengan banyaknya tempat perbelanjaan mewah baru seperti Plaza Ambarukmo, Saphir Square dan beberapa kawasan perbelanjaan. Belum lagi menjamurnya arena gaul dan tempat nongkrong anak muda dengan status ekonomi sosial menengah keatas.
Namun sejalan dengan perkembangannya, fenomena diatas sering kita jumpai di kota Yogya ini. Namun yang paling kentara dan belum ada perubahan positif yakni di pertigaan lampu merah Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga. Sangat menyayat hati ketika anak-anak kecil dari siang hingga hampir tengah malam mengemis namun ibu-ibu mereka hanya duduk-duduk dan tinggal menadahkan tangan menerima hasil mengemis anak-anaknya.
Kegiatan meminta-minta dipinggir jalan atau ditempat umum sudah tidak lagi berdampak afeksi dewasa ini. Fenomena yang sudah membudaya secara turun temurun bagi pihak yang melakoninya, telah menimbulkan banyak keprihatinan oleh berbagai kalangan. Sayangnya, bagi pihak pemberi uang malah juga membudayakan diri dengan memberi uang dengan berbagai alasan, tanpa memikirkan aspek psikologis dan pendidikan. Pihak pemerintah pun tidak memprioritaskan permasalahan ini, hingga kemalasan pengemis semakin diluar batas, padahal banyak diantara mereka yang tergolong mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Seperti yang diungkapkan Briptu Dani, seorang polisi yang bertugas menjaga pos polisi di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, “ saya juga bingung, katanya pengemis tapi kok itu pengemis pada bawa hp, pada telepon-teleponan dan pake perhiasan, karena saya lihat sendiri, saya jadi gak habis pikir “. Hampir semua orang yang melewati pertigaan UIN Sunan Kalijaga melihat langsung ibu-ibu dari pengemis anak disana duduk ditotoar dengan menggunakan perhiasaan dan membawa Handphone. Bahkan terkadang mereka mengeluarkan lembaran-lembaran uang lima puluh atau seratus ribuaan.
Adapun faktor utama penyebab timbulnya kalangan pengemis di Indonesia adalah karena kemiskinan dan kurangnya pendidikan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kealpaan pemerintah dalam mengatasi masalah ini juga menjadi faktor terus menambahnya pengemis. Jika pemerintah lebih memprioritaskan aspek pendidikan dan kemiskinan di negara kita, dan bukan malah berkutik dalam kancah politik untuk memperebutkan kekuasaan, pasti keberadaan pengemis yang sebenarnya sangat krusial paling tidak berkurang. Namun peranan pemerintah dalam masalah ini sangat minim karena tidak pemerintah prioritaskan, padahal kalau dilihat secara luas, permasalahan keberadaan pengemis ini menyangkut kesejahteraan dan kelangsungan hidup seluruh Warga Indonesia.
Sementara itu, paling tidak ada beberapa kalangan kritis yang merasa fenomena yang terjadi dalam masalah pengemis ini menunjukan kelemahan manajemen pemerintah pusat maupun daerah dalam megurus dapur rumah tangga mereka. Banyaknya khilaf dan kelalaian dalam mengatasi masalah pengemis ini menjadikan masyarakat semakin tidak percaya akan rezim pemerintahan di Indonesia.
Kegiatan mengemis di pertigaan UIN Sunan Kalijaga dan daerah-daerah lainnya yang ada di Yogya ataupun Indonesia telah menimbulkan banyak keprihatinan dari beberapa pihak dan kalangan. Hal ini disebabkan karena kegiatan tersebut bukan lagi sebagai sarana untuk membantu fakir miskin, namun sudah dijadikan sebagai profesi pihak-pihak yang melakoninya. Bahkan hampir disemua daerah di Indonesia terdapat mafia yang mengkoordinir untuk kegiatan ini. Beberapa hal yang dilakukan oleh mafia tersebut yakni seperti penyediaan anak kecil untuk melakukan pekerjaan meminta-minta, penyewaan anak kecil atau bayi sebagai sarana yang akan menimbulkan rasa kasihan atau aspek afeksi bagi orang-orang yang melihatnya lalu akan memberi santunan bagi pengemis. Selain itu banyak kegiatan yang dilakukan anak jalanan, gelandangan dan pengemis seperti mengelap kendaraan yang berhenti dilampu merah, menyapu kendaraan umum lalu meminta kompensasi dengan paksa, membuat masyarakat menjadi tidaknyaman. Belum lagi dengan adanya permintaan santunan dari lembaga-lembaga atau instansi agama dan sejenisnya yang tidak jelas keberadaanya serta visi dan misinya.
Kejadian-kejadian seperti itulah yang terkadang luput dari koordinasi pemerintah. Tidak terjaminnya pendidikan di Indonesia bagi masyarakat miskin memunculkan krisis moral bagi mereka. Lebih mengenaskan lagi yang terjadi pada anak-anak yang harus terpaksa mengemis. Anak-anak yang seharusnya masih dalam masa bermain dipaksa mengemis untuk menafkahi hidupnya atau orangtuanya.
“ Panas mbak kalo jam 1 siang “, ungkap Teguh, seorang pengemis anak di pertigaan UIN Sunan Kalijaga sambil menyerahkan uang yang baru ia dapat ke Bu Yanto, ibu nya. Bukan hanya teguh yang merasakan kepanasan, banyak teman-temannya juga yang merasakan panas bahkan kedinginan ketika mereka harus tetap mengemis di saat hujan turun. Permasalahan pengemis memang sudah seharusnya dijadikan prioritas oleh pemerintah dan harus segera di tanggulangi. Seperti yang diungkapkan Anneke Christine Clarenthia S, mahasiswi prodi Komunikasi, bahwa seharusnya pemerintah tidak hanya memberikan penyuluhan terhadap pengemis dan gelandangan, namun juga memberikan alternatif pekerjaan kepada mereka agar mereka tidak kembali mengemis.
Seyogiyanya pemerintah setelah memberikan penyuluhan, juga memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan. Contohnya saja ketermpilan membuat handycraft khas Indonesia yang kemudian menyediakan lapangan pekerjaan dan menjual serta mengekspor hasil pekerjaan mereka. Dengan demikian tidak hanya memberikan pekerjaan pada para gelandangan dan pengemis, namun pemerintah juga diuntungkan dari devisa yang masuk. Mungkin akan terasa sulit jika langsung megkoordinir di seluruh Indonesia, namun jika dimulai dari tiap-tiap daerah, mungkin akan sedikit lebih ringan (terkait dengan siatem desentralisasi). Selain itu juga, pemerintah akan konsisten menjalani pasal 34 UUD’45 yang mengatakan bahwa gelandangan dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Untuk kita semua juga diharapkan untuk lebih bijak lagi dalam memberi santunan bagi pengemis, karena jika kita terus-terusan memberi mereka santunan tanpa melihat bahwa sebenarnya mereka masih mampu bekerja, artinya kita hanya memanjakan mereka dan membuat mereka semakin malas bekerja. Kini, sudah selayaknya kita mendidik para pengemis khususnya yang berada di Yogya agar dapat mengandalkan diri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka masing-masing.

MTV (MUSIC TELEVISION)

”Sebuah Sarana Pergeseran Budaya dan Kehidupan Sosial”

Menyadari peran media massa yang begitu kuatnya pada sistem yang terjadi di masyarakat membuat saya mengkritisi betapa kuatnya kontrol media yang telah terkonstruksi sedemikian rupanya. Salah satu fenomena yang terjadi adalah kuatnya efek sebuah program televisi dengan segmentasi anak remaja, yaitu MTV (Music Televition).
Sebuah program yang dibawa oleh Negara super power Amerika Serikat ini menjadi sebuah ‘kiblat’ yang sangat berpengaruh bagi sebagian anak muda dalam mengikuti arus kehidupan yang dikenal dengan tajuk “gaul”. Bentuk yang dihadirkan adalah segala trend terbaru, mulai dari musik, fashion, makanan, hingga lifestyle. Mengingat program yang didalangi oleh Amerika Serikat, tentu saja sajian dan kemasan di beberapa negara yang mendapatkan hak siar MTV termasuk Indonesia, juga memiliki kemasan yang tidak jauh berbeda. Hingga industri kapitalis seperti makanan, fashion hingga label perusahaan musik pun mendapatkan untung besar-besaran karena pesan-pesan yang ditampilkan oleh MTV.
Anak muda, atau anak remaja yang sedang puberlah yang menjadi sasaran utama oleh MTV. Ini disebabkan karena pada usia remajalah dimulainya awal pencarian identitas seksual dan pemfokusan pada pencarian jati diri, hingga emosi mereka masihlah sangat labil dan dapat dipengaruhi (ditanamkan sebuah konstruksi budaya) dengan sangat mudah . Mereka mulai lepas dari tradisi dalam rumah, mulai meninggalkan disiplin sosial dan berpotensi mengembangkan disiplin pribadi (mypalette.multiply.com).
Ketika melihat lebih jauh lagi, adanya MTV tidaklah hanya sekedar adanya saja. Tanpa sadar, acara-acara yang ditampilkan oleh MTV berpengaruh sangat kuat. Ketika MTV telah mem-’bandrol’ dirinya sebagai acara untuk anak ”gaul”, maka tertanam pula bahwa hanya mereka yang menonton MTV sajalah yang dapat dikatakan ”gaul”. Banyak propaganda yang ditanamkan melalui acara-acara tersebut. Dilihat dari perspektif Kolonialisme elektronik yakni sebuah penjajahan dalam bentuk pikiran dengan media massa sebagai sebuah sarana, MTV jelas saja telah menghasilkan hasil yang mengagumkan karena hampir semua target audiens MTV berperilaku seperti apa yang disampaikan serta dikonstrusikan oleh MTV.
Dalam Kolonialisme Elektronik dijelaskan bahwa penjajahan elektronik ini mencari pengaruh dan kontrol pikiran. Tujuannya adalah untuk mempengaruhi sikap, kehendak, kepercayaan, gaya hidup dan perilaku konsumen, (Global Communication, McPhail 2006). Seperti yang dapat dilihat dalam kenyataan sehari-hari bahwa mereka yang mengkonsumsi MTV memiliki style dan lifestyle yang hampir sama bahkan mengikuti semua kehidupan dan apapun yang mereka lihat di acara MTV. Seperti berbicara gaul, campuran Indonesia-British, mengonsumsi junkfood atau budaya ’kongkow’ untuk mengisi waktu luang atau memang sengaja meluangkan waktu untuk bisa ’kongkow’ agar bisa disebut ’gaul’.
Tidak hanya sekedar itu saja, fenomena yang disebabkan oleh hadirnya MTV berkaitan erat dengan perspektif kultivasi. Analisa kultivasi mempelajari apa dan bagaimana televisi membantu menghasilkan konsepsi penonton tentang kenyataan sosial, (Bryant, J & D Zillmann. Media Effects: Advances in Theory and Research. 2002 : 45). Menurut perspektif kultivasi, televisi merupakan media utama bagi audiens untuk belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Ketika menonton acara MTV di televisi maka mereka melihat bahwa apa yang ditayangkan oleh MTV merupakan sebuah realitas yang harus dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam arti lain, persepsi yang muncul dalam benak kita sangat ditentukan oleh televisi. Melalui kontak dari televisi maka mereka belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, dan adat istiadatnya. Seperti itulah yang terjadi dengan munculnya MTV di berbagai belahan negara khususnya Indonesia. Melalui penanaman konstruksi pesan dari MTV, budaya timur yang ada di Indonesia tergeser menjadi budaya kebarat-baratan bagi anak muda pengonsumsi MTV.
Contohnya saja ketika MTV mengkampanyekan hari HIV Aids secara besar-besaran dan disponsori oleh salah satu produk kondom. Secara tidak langsung MTV mendukung adanya freesex yang notabene merupakan budaya barat. Akibatnya anak muda Indonesia pun melupakan tradisi mereka sebagai bangsa timur yang tidak menghalalkan adanya budaya freesex tersebut.

Sabtu, 19 April 2008

Ajari aku…

Ajari aku…
Tuhan, ajari aku untuk lebih bisa mengerti daripada dimengerti oleh orang lain..
Tuhan, aku ingin lebih banyak memberi daripada harus diberi..
Aku ingin banyak menolong, daripada ditolong..
Biarkan aku untuk lebih banyak mencintai
daripada dicintai oleh siapapun, Tuhan..
Aku ingin lebih banyak menyayangi ketimbang disayangi..
Buat aku Tuhan, untuk lebih bisa menghargai daripada dihargai..
Aku juga ingin banyak menerima dibandingkan diterima..
Biarlah aku lebih banyak disakiti daripada menyakiti..
Karena bagiku,,,
menyakiti siapapun bahkan lebih menyakitkan dibandingkan disakiti..
Ajari aku Tuhan,
untuk mampu menerima setiap asa,
dalam puing-puing puzzle putaran hidupku..

-sha-
011106
catatan saat dini hari